contoh powerpoin PPT dan resume materi kewibawaan (gezaq)







KEWIBAWAAN ( Gezaq ) DALAM PENDIDIKAN

A. Pengertian Kewibawaan
Konsep kewibawaan diadopsi dari bahasa Belanda yaitu ”gezaq” yang berasal dari kata “zeggen” yang berarti “berkata”. Siapa yang perkataannya mempunyai kekuatan mengikat terhadap orang lain, berarti mempunyai kewibawaan atau gezaq terhadap orang itu. Kewibawaan itu ada pada orang dewasa, terutama orang tua. Kewibawaan yang ada pada orang tua (ayah dan ibu) adalah asli. Orang tua dengan langsung mendapat tugas secara natural dari Tuhan untuk mendidik anak-anaknya, suatu hak yang tidak dapat dicabuk, karena terikat oleh kewajiban.
Dari keterangan diatas agar lebih jelas dapat dilihat dari contoh dibawah ini.
Pada suatu sekolah ada seorang guru yang bernama Bapak Budi yang sangat disegani oleh murid-muridnya. Mereka (murid-murid) sangat takut dan patuh kepadanya. Setiap harinya, sebelum Pak Budi masuk ke dalam kelas, murid-murid sudah duduk dengan tenang dan tertib menantikan Pak Budi itu mengajar. Semua perintah dan larangannya serta nasihatnya yang diberikan kepada murid-muridnya, diturut dan dipatuhi oleh anak-anaknya. Anak-anak hormat kepadanya.
Sebaliknya dengan Bapak Salim yang ada di sekolah itu. Ia kurang disegani anak-anak muridnya. Setiap pak Salim mengajar, anak-anak ada saja yang selalu membuat ribut dalam kelas, sehingga kelas menjadi ribut. Peringatan-peringatan dan nasihat-nasihat yang diberikannya tidak atau kurang dihiraukannya oleh murid-muridnya. Anak-anak tidak merasa segan atau patuh kepadanya. Perintah-perintah atau tugas-tugas yang diberikannya, sering kalau tidak dikerjakan oleh murid-muridnya. Karena itu pak Salim seringkali marah dan menghukum anak dalam kelas. Tetapi anak itu bukan semakin patuh atau menurut kepadanya, bahkan sebaliknya. Anak-anak mau mengerjakan apa yang diperintahkannya karena mereka takut; jadi bukan karena insaf atau percaya kepadanya.
Dari contoh di atas dapat kita mengatakan, bahwa Bapak Budi lebih berwibawa, lebih mempunyai kewibawaan atau gezag daripada Bapak Salim. Anak-anak lebih patuh dan lebih segan terhadap Bapak Budi. Segala sesuatu yang diperintahkan atau dinasihatkan ataupun diperingatkan oleh Bapak Budi, lebih meresap dan lebih mudah serta dengan senang menjalankan daripada Bapak Salim. Atau dengan kata lain: pengaruh yang ditimbulkan oleh Bapak Budi lebih dipatuhi oleh anak-anak.
Dalam situasi dan kondisi masyarakat sekarang kewibawaan sering diartikan sebagai suatu kelebihan yang dimiliki seseorang. Dengan kelebihan itu ia dihargai, dihormati, disegani, bahkan ditakuti oleh orang lain atau kelompok masyarakat tertentu. Kelebihan tersebut bisa dari segi ilmu, kepintarannya, kekayaannya, kekuatannya, kecakapannya, sifatnya, dan prilakunya (kepribadiannya).
Kewibawaan anatara orang tua dengan kewibawaan guru dalam pendidikan memiliki kesamaan dan perbedaan. Orang tua (ayah dan ibu ) adalah pendidik yang pertama dan sudah semestinya, mereka adalah pendidik yang alami dan asli yang menerima tugas secara kodrat dari Tuhan untuk mendidik anak-anaknya, karena itu sudah semestinya mereka memiliki kewibawaan terhadap anak-anaknya. Sedangkan kewibawaan guru sebagai pendidik bukan dari kodrat, tetapi karena jabatan yang diterimanya, oleh karena itu kewibawaan yang ada padanya berlainan dengan kewibawaan orang tua. (Purwanto, Ngalim. 1992. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya Hal 48)
Kewibawaan orang tua dapat dilihat dari dua sisi :
1. Kewibawaan Pendidikan
Orang tua bertujuan memelihara keselamatan anak-anaknya, agar mereka dapat hidup terus, dan selanjutnya berkembang jasmani dan rohaninya menjadi manusia dewasa. Kewibawaan pendidkan berakhir jika anak itu sudah menjadi dewasa. Nasihat yang diterima atau yang dimintanya dari orang tua meskipun orang yang meminta atau menerima nasihat itu sudah dewasa, itu juga baik dan banyak yang dituruti.
2. Kewibawaan Keluarga
Keluarga merupakan masyarakat kecil yang memiliki peraturan yang harus dipatuhi dan dijalankan. Tiap anggota keluarga harus patuh terhadap peraturan tersebut. Jadi orang tua sebagai kepala keluarga mempunyai kewibawaan terhadap anggota keluarganya. Kewibawaan keluarga bertujuan untuk memelihara keselamatan keluarga.
a. Kewibawaan guru dalam pendidikan
Kewibawaan pendidikan yang ada pada orang tua, guru atau pendidik karena jabatan berkenaan dengan jabatan sebagai pendidik, telah diserahi sebagian orang tua untuk mendidik anak-anak. Selain itu guru atau pendidik karena jabatan menerima kewibawaannya sebagian lagi dari pemerintah yang mengangkatnya mereka. Kewibawaan yang ada pada guru terbatas oleh banyaknya anak-anak yang diserahkan kepadanya dan setiap tahun berganti murid.
b. Kewibawaan memerintah
Disamping memiliki kewibawaan pendidikan, guru atau pendidik karena jabatannya juga mempunyai kewibawaan memerintah. Mereka diberi kekuasaan (gezaq) oleh pemerintah atau instansi yang mengangkatnya. Kekuasaan (kewibawaan) meliputi pimpinan kelas; disitulah anak-anak telah diserahkan kepadanya. Bagi kepala sekolah kewibawaan ini lebih luas, meliputi pimpinan sekolahnya. (Purwanto, Ngalim. 1992. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya Hal 49)
B. Fungsi Kewibawaan dalam Pendidikan
Didalam pergaulan pendidikan terdapat kepatuhan dari anak, yaitu sikap menuruti atau mengikuti wibawa yang ada pada orang lain, mau menjalankan suruhan orang dewasa secara sadar. Tetapi tidak semua pergaulan antara orang dewasa dengan anak-anak merupakan pendidikan, ada pula pergaulan yang semacam itu mempunyai pengaruh yang jahat atau pergaulan yang netral saja.
Pengaruh yang dikatakan pendidikan adalah pengaruh yang menuju ke kedewasaan anak, untuk menolong anak menjadi orang yang kelak dapat atau sanggup memenuhi tugas hidupnya secara mandiri.
Tidak semua tunduk atau menurut terhadap orang lain dapat dikatakan “tunduk terhadap wibawa pendidikan”. Sikap anak terhadap wibawa pendidikan, menurut longeveld ada dua buah kata yaitu:
a) Sikap menurut atau mengikut, yaitu mengakui kekuasaan orang lain yang lebih besar karena paksaan, takut, jadi bukan tunduk atau menurut yang sebenarnya.
b) Sikap tunduk dan patuh, yaitu dengan sadar mengikuti kewibawaan, artinya mengakui hak orang lain untuk memerintah dirinya, dan dirinya merasa sendiri terikat akan memenuhi perintah itu.
Jadi fungsi wibawa pendidikan adalah membawa si anak ke arah pertumbuhannya yang kemudian dengan sendirinya mengakui wibawa orang lain dan mau menjalankannya. . (Purwanto, Ngalim. 1992. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya Hal 50 sampai 51)
C. Penggunaan Kewibawaan oleh Guru dan Pendidik lainnya
Kewibawaan pendidikan yang dimaksud adalah yang menolong dan memimpin anak ke arah kedewasaan atau kemandirian. Oleh karena itu, penggunaan kewibawaan oleh guru dan tenaga kependidikan lainnya perlu didasarkan pada faktor-faktor berikut ini:
1. Dalam menggunakan kewibawaan hendaklah didasarkan atas perkembangan anak sebagai pribadi. Pendidik atau guru hendaklah mengabdi kepada pertumbuhan anak yang belum selesai perkembangannya. Dengan kebijaksanaan pendidik, anak dibawa ke arah kesanggupan menggunakan tenaganya dan pembawaanya yang tepat. Wibawa pendidikan itu bukan bertugas memerintah, melainkan mengamat-amati serta memperhatikan dan menyesuaikannya kepada perkembangan dan kepribadian masing-masing anak.
2. Pendidik hendaklah memberi kesempatan kepada anak untuk bertindak atau berinisiatif sendiri. Kesempatan atau keleluasaan itu hendaknya makin lama makin diperluas, sesuai dengan perkembangan dan bertambahnya usia anak. Anak harus diberi kesempatan cukup untuk melatih diri untuk bersikap patuh, karena si anak dapat bersikap tidak patuh. Jadi. Dengan wibawa itu hendaklah pendidik berangsu-angsur mengundurkan diri sehingga akhienya tidak diperlukan lagi. Mendidik anak berarti mendidik untuk dapat berdiri sendiri (mandiri).
3. Pendidik hendaknya menjalankan kewibawaannya atas dasar cinta kepada anak. Ini berarti berbuat sesuatu untuk kepentingan si anak, bukannya memerintah atau melarang untuk kepentingannya sendiri. Cinta itu perlu bagi pekerjaan mendidik, sebab dari cinta dan kasih sayang itulah timbul kesanggupan selalu bersedia berkorban untuk sang anak, selalu memperhatikan kebahagiaan anak yang sejati . (Bahan Tim Pembimbing Mata Kuliah Pedagogi UNP, Pedagogi. Padang. 2006 Hal 87)

D. Pelaksanaannya dalam Pendidikan
1. Kewibawaan dan pelaksanaan Kewibawaan dalam keluarga, terutama dimaksudkan untuk melaksanakan berputarnya roda masyarakat kecil. Kewibawaan dalam keluarga ialah untuk membawa si anak ke kedewasaan. Bila tidak ada Kewibawaan, si anak tidak akan dapat mencapai kedewasaannya, tahu norma-norma dan bersedia menyesuaikan hidupnya dengan norma-norma itu, dengan wibawa itu pendidik hendak membawa anak agar mengetahui, memiliki dan hidup sesuai dengan norma-norma.
Pelaksanaan Kewibawaan dalam pendidikan harus bersandarkan perwujudan norma dalam diri si pendidik. Oleh karena itu wibawa dan pelaksaannya mempunyai tujuan membawa anak ketingkat kedewasaan, yaitu mengenal dan hidup yang sesuai dengan norma-norma itu sendiri. (Tim Pembimbing Mata Kuliah Pedagogi UNP, Pedagogi. Padang. 2006 Hal 88)
E. Kewibawaan dan Identifikasi
Tujuan wibawa pendidikan adalah berusaha membawa anak ke arah kedewasaannya. Ini berarti secara beangsur-angsur anak dapat mengenal nilai-nilai hidup atau norma-norma dan menyesuaikan diri dengan norma-norma itu dalam hidupnya. Bagaimana norma-norma dan nilai identifikasi nilai hidup itu diterima dan dimiliki anak? Syarat mutlak dalam pendidikan adalah adanya kewibawaan pada pendidik. Tanpa kewibawaan, pendidik tidak akan berhasil baik.
Dalam melakukan kewibawaan sipendidik mempersatukan dirinya dengan yang dididik, juga yang dididik mempersatukan dirinya terhadap pendidiknya. Identifikasi mengandung arti bahwa:
1. Si pendidik mengidentifikasikan dirinya dengan kepentingan dan kebahagiaan si anak. Ia berbuat untuk anak, karena anak belum dapat berbuat sendiri. Ia memilih untuknya, jadi untuk anaknya itulah ia mengambil tanggung jawab yang semestinya menjadi tanggung jawab si anak sendiri. Jadi sipendidik akan mewakili kata hati anak didiknya untuk sementara. Sipendidik memilih, mempertimbangkan dan memutuskan untuk anak didiknya. Hal demikian dapat dipertanggung jawabkan, dan memang perlu selama si anak belum dapat memilih, mempertimbangkan dan mengambil keputusan untuk dirinya. Tetapi lambat laun campur tangan orang tua atau pendidik harus makin berkurang.
2. Si anak mengidentifikasikan dirinya terhadap pendidiknya. Identifikasi anak sebagai makhluk yang sedang tumbuh tentu saja berlain-lain menurut perkembangan umurnya, menurut pengalamannya.
Ada dua cara mengidentifikasi oleh anak:
1. Ia dapat sama sekali melenyapkan dirinya menurut sempurna, tidak menentang perintah dan larangan dilakukan secara pasif saja. Bahayanya adalah di dalam diri anak tidak tumbuh kesadaran akan norma-norma, sehingga ia tidak akan mungkin sampai pada tingkatan ”Penentuan Sendiri”.
2. Karena ikatan dengan sang pemegang wibawa (pendidik) terlalu kuat-erat, sehingga merintangi perkembangan “AKU” anak itu. Tetapi ikatan yang sangat erat itu dapat menimbulkan usaha yang sangat aktif untuk mencapai persamaan dengan pendidiknya, berbuat sesuai dengan yang diharapkan dari pendidiknya, atau si anak ingin menjadi sang pemegang “wibawa” itu.
Anak yang menurut dapat memberikan gambaran seakan-akan kita mencapai hasil baik dalam pendidikan. Akan tetapi harus diingat bahwa si anak harus kita didik tidak saja dengan hak, melainkan dengan kewajiban membawa dirinya ke suatu tingkatan untuk dapat makin mandiri.
Identifikasi si anak terhadap orang tua atau pendidik lambat laun harus dilepaskan dari sifat perseorangan dan harus ditujukan kepada norma-normanya.
Identifikasi pada diri seorang anak mulanya tertuju kepada diri pribadi pendidiknya, kemudian tertuju kepada nilai-nilai dan norma-normanya. Kelak ia lebih melepaskan diri lagi dari pendidiknya dan lebih lagi menunjukkan dirinya kepada nilai dan norma-norma itu. Jelas bahwa fungsi kewibawaan dalam pendidikan ialah membuat si anak mendapatkan nilai-nilai dan norma-norma hidup. . (Purwanto, Ngalim. 1992. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya Hal 56 sampai 57)


KEWIBAWAAN DALAM PEMBELAJARAN
Prayitno (2003) menyebutkan lima alat pendidikan yang dalam hal kewibawaan dalam pembelajaran tersebut yakni: pengakuan dan penerimaan, kasih sayang dan kelembutan, keteladanan, penguatan, dan ketegasan yang mendidik (membimbing). Alat-alat pendidikan tersebut, sekaligus dapat digunakan guru sebagai alat membimbing siswa dalam proses pembelajaran sehingga proses belajar tersebut menyenangkan bagi siswa dan memotivasinya untuk lebih giat dalam belajar.
1. Pengakuan dan penerimaan
Pengakuan adalah penerimaan dan perlakuan guru terhadap anak didik atas dasar kedirian/kemanusiaan anak didik, serta penerimaan dan perilaku anak didik terhadap guru atas dasar status, peranan, dan kualitas yang tinggi.
2. Kewiyataan (kasih sayang dan kelembutan)
Dalam proses pembelajaran di kelas, Jalaluddin Rahmat (1985:53) menyatakan bahwa:
Interaksi dalam proses pembelajaran merupakan suatu hubungan interpersonal yang untuk mengembangkannya menjadi suatu pola kerjasama yang baik diperlukan syarat sebagai berikut: (1) sikap percaya, (2) sikap sportif, dan (3) sikap terbuka. Dengan adanya sikap percaya, sportif dan terbuka akan mengarah kepada hubungan atau interaksi pembelajaran yang menumbuhkan sikap saling menghargai, menghormati yang pada akhirnya akan bermuara pada timbulnya rasa kasih sayang antara guru dan siswa dalam proses pembelajaran.
Menurut Puskurbangdik (2002) guru diharapkan mewarnai proses pembelajaran dengan menyenangkan, sifat rasa kasih sayang, kelembutan, dan suasana menyejukkan dalam hubungan antara pendidik dan peserta didik. Menurut (Benjamin Spock 1982:58), kasih sayang dan kelembutan akan mendorong lusinan tindakan yang spontan dan produktif dari peserta didik.
Sehubungan dengan kasih sayang dan kelembutan, Prayitno (2002) menyatakan bahwa;
dapat terwujud melalui ketulusan, penghargaan, dan pemahaman secara empatik terhadap siswa sebagai pribadi. Hal itu semua, tidak mungkin diwujudkan melalui kekerasan, amarah, arogansi, kemunafikan, atau kegiatan yang secara langsung ataupun tidak langsung, nyata atau terselubung, merugikan dan/atau menyulitkan peserta didik.
Menurut Watten B. (dalam Sahertian 1994) bahwa guru adalah pembawa rasa kasih sayang, pembina dan pemberi layanan.
Pendapat yang sama dikemukakan oleh Muhhamad Suwaid (2002:41) bahwa; kasih sayang dan sikap lemah lembut, dan ramah yang dimiliki guru, akan membuat peserta didik mendapatkan rasa aman, nyaman dan tenteram dalam mengikuti kegiatan pembelajaran.
Perasaan menyenangkan dan suasana penuh keakraban dalam proses pembelajaran menurut Fuad bin Abdul Aziz Al-Syaihub (2005:26) akan mengusir kebosanan dan memberikan sedikit rasa segar kepada siswa dan merubah suasana kering menjadi hangat dan santai.
Dari pendapat dan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa, apabila telah terjalin ikatan kasih sayang dan kelembutan cinta antara guru dan siswa akan menimbulkan rasa percaya, terbuka, menghormati dan menghargai guru. Dengan demikian kasih sayang, kelembutan dan suasana pembelajaran yang didapatkan siswa merupakan bentuk bimbingan dari guru, akan mampu merangsang siswa untuk memberikan reaksi posistif, tindakan-tindakan kreatif, pengetahuan dan pemikiran baru yang lebih maju dalam mencapai kemandirian, khususnya belajar.

3. Keteladanan
Menciptakan sumber daya manusia (siswa) yang berkualitas, guru dituntut menjadi sosok yang ideal.. Guru diharapkan sebagai sosok yang dapat “digugu” dan “ditiru” Supriadi (dalam Hadiyanto 2004:11). Dalam proses pembelajaran dewasa ini keteladanan guru terhadap siswa baik dalam bersikap maupun bertutur kata semakin menurun, Menurut Prayitno (2002:23), hal ini tidak boleh terjadi, karena keteladanan guru terhadap diri siswa ini pada awalnya dimulai melalui proses peniruan siswa terhadap guru yang menjadi panutan mereka.
Menurut Moh. Uzer Usman (1995:13), guru harus senantiasa memberikan keteladan yang baik kepada peserta didik. Lebih jauh Ghouzali Saydam (1996:414) menyatakan bahwa ketauladanan sangat penting dalam pembentukan dan pembinaan sumber daya manusia. Peranan ketauladanan amat menentukan keberhasilan seorang guru terhadap peserta didiknya.
Prayitno (2002:23) menyatakan bahwa siswa cenderung meniru pendidik yang sukses. Pendidik sukses adalah teladan bagi peserta didik. Lanjut Charles Schaefer (1996:16) bahwa:
Anak-anak merupakan peniru terbesar di dunia ini. Mereka terus-menerus meniru apa yang dilihat dan menyimpan apa yang mereka dengar. Contoh teladan dapat lebih efektifr daripada kata-kata, karena teladan itu menyediakan isyarat-isyarat non verbal yang berari menyediakan contoh yang jelas untuk ditiru.
Pendidik sukses menurut Prayitno (2002:23), perlu menjalankan berbagai peran yang keseluruhannya tertuju kepada keberhasilan peserta didik. Oleh karena itu, menurut Wens Tanlain dkk. (1996:54), guru diharapkan dapat menampilkan prilaku yang dapat dijadikan sebagai contoh, panutan dan keteladanan bertingkahlaku bagi siswa dalam kehidupan, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.
Posisi guru faktor penting/utama dalam proses pembelajaran. Seperti pernyataan Hadi Supeno (1999:39) guru secara umum tetap memegang sentral utama dalam proses pendidikan persekolahan, walaupun dalam proses pendidikan modern siswa lebih banyak belajar mandiri. Kehadiran guru sebagai tokoh, panutan dan keteladanan serta pembimbing tidak dapat diganti dengan sumber-sumber belajar lainnya.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari beberapa pendapat di atas, adalah bahwa keteladan guru dalam pendidikan/proses pembelajaran, merupakan hal yang mutlak adanya ditinjau dari segi penampilan, cara berpakaian, bersikap, tutur bahasa atau perkataannya, kedisiplinan dan tanggungjawab. Dalam arti menyangkut perkataan, perbuatan dan tingkah laku guru dalam keseharian, terutama tentunya dalam proses pendidikan.

4. Penguatan
Dalam proses pembelajaran, penguatan atau reinforcement adalah sesuatu hal yang penting dalam memberikan motivasi yang lebih kuat pada siswa. Ellis (1978:20) mendefinisikan reinforcement sebagai berikut: A reinforcer is any event which, when occurring in close temporal relationship to a response, increases the likelihood that the response will be repeated in the future. Penguatan adalah semua peristiwa yang terjadi dalam rentangan waktu yang terdekat untuk meningkatkan kecenderungan pengulangan respon yang telah dilakukan.
Sama dengan yang dikemukakan Prayitno (2002:34) bahwa:
Penguatan (reinforcement) merupakan upaya untuk mendorong diulanginya lagi (sesering mungkin) tingkah laku yang dianggap baik oleh si pelaku. Penguatan diberikan dengan pertimbangan: tepat sasaran, tepat waktu dan tempat, tepat isi, tepat cara, dan tepat orang yang memberikannya.
Lefrancois (1994), menyatakan bahwa secara umum ada dua bentuk penguatan atau reinforcement yaitu reinforcement positif dan negatif. Wolfolk (1995) juga menyatakan bahwa reinforcement kepada siswa dalam proses pembelajaran dapat diberikan melalui perhatian yang memadai dari guru kepada siswa. Reinforcement juga dirasakan penting terutama dalam proses pembelajaran sosial. Hal ini sebagaimana dikemukakan oleh Glover and Roger (1990) bahwa reinforcement dan pemberian respon merupakan salah satu faktor yang penting dalam pembelajaran terhadap siswa.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas, maka dapat dinyatakan bahwa reinforcement yang diberikan kepada siswa baik positif maupun negatif dengan prosedur yang tepat akan dapat memberikan manfaat dalam proses pembelajaran siswa.
Selain hal di atas, dalam proses pembelajaran guru juga tidak terlepas dari penerapan prinsip-prinsip belajar. Dimyati & Muljiono (1999:42) menyebutkan prinsip belajar antara lain adalah: 1) perhatian dan motivasi, 2) keaktifan, 3) keterlibatan langsung/pengalaman, 4) pengulangan, 5) tantangan, 6) balikan dan penguatan, 7) perbedaan individu. Implikasi prinsip belajar tersebut bagi guru adalah pemberian perhatian dan motivasi sebagai penguatan bagi diri individu (siswa) terhadap prestasi maupun hal-hal positif yang telah dilakukan atau dicapainya.
Kesimpulan, bahwa guru yang membimbing adalah guru yang mampu memberikan penguatan secara tepat sasaran, tepat waktu dan tempat, tepat isi, tepat cara, dan tepat orang yang memberikannya pada siswanya. Dalam arti kapan, siapa siswanya dan hal seperti apa yang seharusnya diberikan penguatan secara posistif; dalam arti agar siswa tersebut mengulangi dan mempertahankan hal-hal baik yang telah diperolehnya, dan memberikan penguatan negatif; agar siswa meninggalkan hal-hal negatif dan berupaya melakukan perbaikan kepada hal-hal yang positif. Sehingga siswa merasa diperhatikan, dibimbing, diarahkan dan dimotivasi untuk melakukan tindakan pengembangan, pengayaan dan perbaikan (remedial) untuk dirinya.

5. Tindakan tegas yang mendidik
Pelanggaran dan kesalahan yang dilakukan peserta didik tidak selayaknya diabaikan atau dibiarkan, melainkan diperhatikan dan ditangani atau diberikan tindakan tegas secara proporsional. Menurut Thomas Amstrong (2003:160) yang perlu dilakukan adalah menyesuaikan tindakan terhadap kondisi yang berbeda dari setiap siswa. Menurut Wens Tanlain dkk. (1996:56) tindakan tegas mendidik dapat berupa teguran dan hukuman. Teguran digunakan untuk mengoreksi tingkah laku yang tidak sesuai dengan perintah atau larangan, yang bertujuan menyadarkan anak didik dari tingkah laku kurang tepat serta akibatnya. Masih menurut Wens Tanlain dkk. (1996:57), hukuman adalah merupakan alat pendidikan istemewa sebab membuat anak didik menderita. Hukuman diberikan pada siswa karena melakukan kesalahan, agar siswa tidak lagi melakukannya.
Pelaksanaan hukuman sebaiknya dihindari. Menurut Davis (1989:65) hukuman dapat menyakitkan secara fisik maupun psikologis. Lebih jauh Hasan Langgulung (1995:44) mengatakan bahwa hukuman jasmani telah dikritik pendidik modern, karena menimbulkan kebencian murid kepada guru. Syaiful Bahri Jamarah (1994:47) menegaskan bahwa hukuman yang tidak mendidik adalah berupa memukuli siswa yang bersalah hingga mengalami luka. Tindakan tidak mendidik ini konsekunsinya, siswa akan memusuhi guru dan prestasi belajar dengan guru yang pernah memukulnya menjadi rendah.
Hal yang sama dengan Wens Tanlain dkk. (1996:57) menyatakan bahwa sebaiknya hindari menggunakan tindakan tegas yang berhubungan dengan badan dan perasaan, karena dapat mengganggu hubungan kasih sayang antara guru (pendidik) dengan siswa.
Tindakan tegas guru terhadap pelanggaran atau kesalahan terhadap peserta didik (siswa) perlu dilaksanakan. Dikatakan Charles Schaefer (1996:113) makin cepat anak menerima sanksi (hukuman) sesudah satu tingkah laku, maka makin efektif sanksi-sanksi itu mengubah tingkah laku itu. Lebih jauh Benyamin Spock (1982:259) menyatakan bahwa tindakan semacam itu akan mampu membentuk watak siswa yang memiliki budi pekerti baik. Kalau guru telah segan bertindak tegas terhadap siswa maka kewibawaan mereka akan berkurang.
Menurut Thomas Amstrong (2003:161) ada beberapa teknik yang dapat dilakukan untuk menangani perilaku siswa yaitu: (a) bicara kepada siswa, (b) memberikan contoh atau teladan bagi siswa, (c) sediakan konseling pribadi, (d) buat konseling bersama teman-teman sebaya, dan (e) kembangkan kontak pribadi guru dengan siswa.
Kesimpulan, bahwa tindakan tegas terhadap siswa yang melakukan pelanggaran atau kesalahan, perlu dilaksanakan dengan pendekatan yang bermuatan pendidikan agar dapat mendorong si pelanggar untuk menyadari kesalahannya dan memiliki komitmen untuk memperbaiki diri sehingga pelanggaran atau kesalahan itu tidak terulang lagi. Penggunaan tindakan tegas yang mendidik terhadap siswa, akan tetap menyuburkan kasih sayang, dapat menyadarkan siswa akan kesalahannya, mengembangkan hubungan yang harmonis dengan siswa, dan mampu membentuk budi pekerti yang baik pada siswa, serta tetap menghargai dan menghormati guru, sehingga kewibawaan guru tetap terpelihara.


DAFTAR PUSTAKA
Al-Abrasyi, M. Athiyah. 2001. Dasar-Dasar Pendidikan. Jakarta: Bulan Bintang
M.Yunus, Firdaus. 2004. Pendidikan Berbasis Realita. Yogyakarta: Lagung Pustaka
Purwanto, Ngalim. 1992. Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. Bandung: Remaja Rosdakarya
Yaqin, Ainul. 2005. Pendidikan Multikultural. Yogyakarya : Nuansa Aksara
Alam Fikiran Al-Ghazali. 1964. Pendidikan dan Ilmu. Bandung : CV. Diponegoro
http://konselingindonesia.com/index.php?option=com_content&task=view&id=66&Itemid=103
Tim Pembimbing Mata Kuliah Pedagogi UNP, Pedagogi. Padang. 2008

download powerpoint di SINI

0 Response to "contoh powerpoin PPT dan resume materi kewibawaan (gezaq)"

Post a Comment

Popular Posts

wdcfawqafwef